Kepiawaian para penguasa, yakni Abdurrahman I,
Abdurrahman II, dan Abdurrahman III, pada awal pendudukan Andalusia di
semenanjung Iberia menjadi faktor yang penting dalam mempersatukan
kekuatan-kekuatan umat Islam, Yahudi dan Nasrani. Keberhasilan politik para pemimpin Andalusia tersebut
disebabkan oleh
kebijakan memelihara pluralisme khususnya kehidupan beragama yang penuh toleransi di antara umat. Pada era tersebut bidang pendidikan tinggi dan kegiatan-kegiatan ilmiah berkembang
akibat ditunjang oleh good will para penguasa Bani Umayyah di Andalusia yang dalam hal
ini adalah Muhammad I (852-886) dan Al-Hakam II (961-976).
Masyarakat Andalusia merupakan masyarakat majemuk,
terdiri dari berbagai komunitas agama serta bangsa. Oleh sebab itu pembinaan kehidupan
beragama yang penuh toleransi mutlak diperlukan. Karena hanya dengan cara demikian mereka akan termotivasi untuk mewujudkan ukhuwah watoniyah Andalusia. Untuk
tujuan tersebut, terhadap umat Kristen sebagaimana pula Yahudi, mereka dianggap
sebagai kaum mukminin serta sekaligus dzimmy. Lebih lanjut, kekhalifahan
menyediakan hakim-hakim khusus untuk menangani permasalahan di antara mereka
sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Bani Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di Andalusia, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak pula
terpengaruh. Sejak abad
ke-11 dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan
dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan
gagasan-gagasan, sehingga membawa kesatuan budaya dunia Islam.
Muluk At-Thawaif
Perpecahan politik di dalam negri pendudukan Andalusia
dimulai sejak bermunculannya Mulukul Thawa'if (dinasti-dinasti kecil) akibat lemahnya kebijakan kekhalifahan. Timbul
negri-negri kecil, baik dari penduduk Muslim asli Andalusia seperti Abbadiyah (1013-1091
M) di Sevilla dan Hudiyyah (1039-1142 M) di Saragosa. Berber Afrika Utara
seperti Miknasa Afthasiyyah (1022-1094 M) di Badajos, Hawwarah Dzununiyah
(1028-1085 M) di Toledo dan Hammudiyah (1016-1035 M) di Malaga. Sebagian lain
dari Afrika yang migrasi sekitar abad ke-10 M serperti Sanhaja Berber Ziriyyah
di Elvira, kelompok Amiriyah dan Al-Manshuriyyah (1021-1096 M) di Valencia.
Pada wilayah tertentu di tenggara seperti Tortosa, Denia dan sebelumnya juga di Valencia, para militer keturunan Shaqlaby
berkuasa untuk beberapa lama di daerah-daerah tersebut.
Sebagian
besar dari mereka menjadi agresif serta mengabaikan kesatuan sesama Muslim, bahkan
mengorbankan tetangga-tetangga mereka sendiri. Abbadiyah misalnya, dalam rangka
mengembangkan sayap kekuasaannya, tidak segan-segan mendukung kembali Hisyam
Al-Muayyad II khalifah yang sudah digantikan untuk memimpin kembali. Ada pula
sebagian kelompok yang meminta pertolongan kepada kerajaan Kristen, Alfonso VI
untuk menyerang kelompok muslim lainnya.
Kejadian pada masa tersebut merupakan antitesis dari masa
kejayaan awal Andalusia ketika berada di puncak kejayaannya, dengan keunggulan
dalam bidang ilmu pengetahuan, kesenian, filsafat dan hukum tatanegara. Pada
masa Muluk ath-Thawa'if setiap penguasa di Málaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Kordoba. Walaupun Muluk ath-Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban
baru yang di antaranya justru lebih maju, sedangkan pada masa sebelumnya hanya Kordoba
merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Iberia. Namun kesombongan
negri-negri kecil tersebut akhirnya gagal menghimpun keutuhan Andalusia karena
cekcok diantara mereka sendiri. Inilah kelemahan yang dimanfaatkan umat Nasrani
untuk melampiaskan dendam kesumat mereka.
Faktor Pendorong Kemunduran
Pada
awal dari pemerintahan pendudukan Muslim masyarakat Andalusia merasakan kehidupan
yang menyenangkan. Pemerintah berhasil melakukan integrasi penduduknya dengan
kebijaksanaan memajukan kehidupan beragama yang penuh toleransi. Baik agama
Yahudi, Nasrani dan Islam dibina untuk hidup dalam kerukunan. Pemerintah pun
mensejajarkan hak dan kewajiban para mualaf pribumi tersebut dengan setingkat
dengan pendatang Muslim. Begitu pula para serdadu baik dari etnis Arab dengan
Berber yang baru saja masuk Islam dan merupakan komponen terbesar pasukan
pendudukkan setingkat.
Namun
seiring dengan lamanya pendudukan, mulailah timbul ketidak adilan, khususnya
bagi penduduk non Muslim, para mualaf pribumi dan serdadu dari etnis Berber
atau Moor. Terjadi diskriminasi yang potensial melemahkan kesatuan Kerajaan
Muslim di Semenanjung Iberia. Di samping itu timbul pula kejadian-kejadian lain
yang melemahkan ketahanan kerajaan, seperti yang disimpulkan di bawah ini:
1)
Timbulnya
konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan-kerajaan Kristen.
Peperangan atritif yang berlangsung lama menjadi salah
satu faktor penyebab kemunduran yang patut dinilai penting. Konflik
tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti:
i.
Kegagalan
penguasa Muslim melakukan Islamisasi secara total, sebab mereka sudah cukup puas dengan memelihara toleransi
beragama, dan membiarkan mereka hidup menggunakan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak melakukan
perlawanan bersenjata.
ii.
Kehadiran penjajah Muslim tidak dapat disangkal memperkuat rasa
kebangsaan orang-orang Kristen Iberia. Secara diam-diam
mereka memelihara dendam terhadap pendudukan Islam.
iii.
Penjajah Muslim sengaja
melewatkan dan tidak menaklukkan beberapa Kerajaan Kristen tetangga di pesisir
utara semenanjung (Asturias, León, Galicia, Castile, Navarre, Aragon,
Catalonia) yang dipimpin oleh para aristokrat. Tampaknya disebabkan oleh letak
negri-negri tersebut di wilayah pegunungan dengan kontur
geografis yang sangat berat untuk suatu kampanye militer. Lagi
pula rakyat di negri-negri tersebut tidak mempermasalahkan hidup dalam
koeksistensi dengan negara-negara Iberia Muslim.
2)
Tidak adanya
ideologi pemersatu
yang disebabkan oleh:
i.
Dampak
dari politik diskriminatif Bani Umayyah di
Damaskus
pada era selanjutnya, pada mana orang-orang Arab enggan menerima para
mualaf pribumi sederajad dengan mereka. Setidak-tidaknya sampai
abad ke-10, mereka masih merendahkan
derajat para mualaf tersebut dengan nama ejekan 'ibad dan Muwallad. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang terpaksa bersikap
insubordinate yang tentunya tidak kondusif bagi ketahanan negri-negri Muslim
semenanjung Iberia.
ii.
Para jenderal karismatik
penakluk umumnya bertindak sangat independen, karena tiadanya metode komunikasi
yang mendukung. Kesuksesan para jendral yang berjuang di lokasi yang sangat
jauh dari Damaskus tidak jarang ditanggapi dengan penuh curiga oleh kalangan
tertentu di pemerintahan pusat. Terutama terhadap para jendral yang ambisus
dan memperoleh loyalitas pribadi perwira dan prajurit mereka. Kemudian persaingan
lama yang sarat konspirasi diantara para jenderal berpengaruh atas timbulnya like
and dislike di kalangan pimpinan di Damaskus. Akibatnya para jenderal yang
sukses dan lama memimpin harus digeser dan digantikan oleh jendral dari generasi
lebih muda dianggap lebih loyal dengan pemerintah di Damaskus. Dan kondisi yang
demikian tentu melemahkan kapasitas tempur pasukan.
iii.
Kelemahan serius lainnya
di antara para penakluk Muslim adalah ketegangan etnis antara komponen Arab Syam
(asli) dengan etnis Berber Afrika Utara yang baru saja memeluk Islam dan konon
dibawah pengaruh para pelarian Khawarij. Pada hal suku bangsa Berber merupakan
komponen terbesar di dalam pasukan penyerang Muslim. Konflik internal
laten tersebut tentu membahayakan persatuan Muslim.
3)
Faktor kesulitan ekonomi yang terjadi pada paruh kedua pendudukan Muslim di Iberia. Faktor
ini lebih disebabkan oleh ambisi para penguasa yang ingin membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat
"serius", sehingga lalai membina perekonomian. Akibatnya timbul
kesulitan ekonomi yang membebani dan menpengaruhi kondisi politik dan militer.
4)
Ketidak jelasan sistem peralihan kekuasaan. Pada hal peralihan kekuasaan di dalam
ajaran Islam sudah jelas, yaitu melalui pemilihan yang berdasarkan potensi leadership
yang terbaik diantara umat. Akibat pengabaian garis yang telah ditetapkan
seperti di atas, terjadi perebutan
kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah
runtuh dan Muluk ath-Thawaif muncul.
5) Keterpencilan Andalusia dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali
dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu
membendung kebangkitan Kristen di sana.
Reconquista Semenanjung Iberia
Reconquista (penaklukan kembali) secara historis adalah
upaya pembebasan Semenanjung Iberia dari pendudukan Islam, yang berlangsung
selama 770 tahun, dimulai semenjak awal penaklukan Islam pada tahun 711 M hingga
jatuhnya Emirat Granada, negara Islam terakhir di semenanjung, pada tahun 1492
M. Reconquista berakhir tepat sebelum Eropa menemukan "Dunia Baru"
Amerika pada era Kerajaan Portugis dan Spanyol.
Para ahli sejarah tradisional mencatat bahwa bangsa Moor tidak pernah sepenuhnya menjadikan wilayah
pegunungan di pantai utara bagian dari Spanyol
Islam.
Pasalnya medan di daerah tersebut berupa pegunungan yang sulit untuk ditembus.
Oleh sebab itu wilayah tersebut pada awal penaklukan Moor di
abad ke-8 menjadi tempat perlindungan bagi bangsawan Kristen. Pada tahun 722 M setelah pertempuran Covadonga tatkala
pasukan Kristen kecil yang dipimpin oleh bangsawan Pelagius mengalahkan tentara
Kekhalifahan Umayyah di pegunungan Pirenia di Iberia utara, secara de facto
berdirilah sebuah kerajaan Kristen Asturias merdeka Regnum Asturorum. Kemenangan tersebut membangkitkan
semangat nasionalisme bangsa Kristen Iberia dan menjadi tonggak sejarah menandai
lahirnya Reconquista (merebut kembali).
Konsep Reconquista
Umat
Nasrani sepakat menganggap Kekhalifahan Muslim Andalusia sebagai musuh bersama
yang harus ditaklukkan dengan kekuatan militer. Dengan cerdik negri-negri kecil
nan merdeka yang tersebar di pegunungan Pireni secara bergantian melakukan
perlawanan atritif sepanjang masa penaklukan muslim. Dengan harapan menggerus
ketahanan pemerintah pendudukan, sebab hanya dengan cara tersebut yang dapat
mereka lakukan sambil menunggu saat yang tepat untuk melancarkan pukulan yang
mematikan. Apalagi kekhalifahan Muslim sudah mulai terpecah yang ditandai dengan
munculnya Muluk At-Thawaif. Mereka melihat fenomen Muluk At-Thawaif merupakan
batu loncatan bagi ambisi mereka untuk merdeka.
Oleh
karenanya dibuatlah satu konsep Reconquista, dengan komponen (1) diferensiasi
budaya umat Nasrani dari Muslim khususnya dalam aspek agama sehingga mudah
memilah umat Nasrani dari Muslim, (2) mengabaikan kehidupan toleransi beragama
yang sudah terbina sejak abad ke-8, (3) meningkatkan semangat perlawanan
atritif yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya namun terpisah kepada perwujudan
suatu kesatuan untuk menghancurkan dan mendorong Muslim keluar dari semenanjung
Iberia, (4) berdasarkan pengalaman Perang Salib di Levante mereka sudah mampu membina tentara dengan corp
geest yang berdiri di atas kesamaan tujuan, yaitu membebaskan umat Nasrani
Iberia dari penjajahan Muslim.
Tekad
untuk menggulung kekuatan Muslim semakin berkembang ketika kaum Franka bersedia
membantu Pangeran Odo dari Kerajaan Aquitane yang kalah dalam pertempuran
Sungai Garonne pada tahun 732 M. Kaum Franka bersama sisa pasukan Odo pada
ofensi militer berikutnya berhasil memukul mundur pasukan Moor bahkan
menewaskan Abdul Rahman Al Ghafiqi pada pertempuran Toulouse pada tahun 732 M
juga.
Untuk
memudahkan pemahaman jalannya Reconquista, para sejarawan membaginya atas 10
periode:
1. Periode I (712-758 M), pada era ini Andalusia berada di bawah Dinasti
Umayyah hingga masuknya Abdur Rachman ad Dakhil ke Andalusia. Periode ini ditandai
oleh perluasan wilayah jajahan, namun sudah mulai tampak pertikaian antara di
antara pasukan penjajah, dan perlawanan bangsa Iberia Kristiani:
i.
711: Awal mula
invasi Iberia yang dikuasai kaum Kristen oleh pasukan Arab-Berber dari Kekhalifahan Umayyah.
v. 739: Garnisun Berber dihalau dari Galicia.
2. Periode II (758-858 M),
adalah zaman keemasan Andalusia I, ditandai dengan ekspansi wilayah jajahan:
i.
759: Dinasti Karolingia
yang dipimpin Pepin yang pendek menaklukkan kubu pertahanan Muslim yang terakhir di Perancis masa kini.
iii.
809: Ketika pasukan Karolingia gagal merebut Tarragona dan Tortosa, lalu mereka
pun mundur ke Ebro, dan daerah
Katalunia pun direbut pasukan Muslim hingga kerajaan Muslim meluas hingga
Perancis Selatan.
3. Periode III (858-920
M), menandakan masa kemunduran pertama Andalusia hingga permulaan pemerintahan
Abdurrahman al Nashir, pendirian cikal bakal negri Portugis serta perlawanan
bangsa Asturia:
4. Periode IV (920-988 M),
merupakan kembalinya kekuatan Andalusia dan deklarasi khilafah.
5. Periode V (988-1019 M),
masa kekuasaan para mentri atau berdirinya Dinasti Amiriyah.
6. Periode VI (1019-1042
M), kemunduran kedua Andalusia dan hilangnya kekuasaan Umayyah dari sana.
7. Periode VII (1042-1104
M), era munculnya kerajaan kecil-kecil (Muluk At-Thawaif) sehingga terjadi peperangan,
sebagai berikut:
i.
1085: Penaklukan
atas Toledo oleh pasukan Castilia. Lebih dari separuh Iberia ditaklukkan oleh
kerajaan-kerajaan yang diperintah kaum Kristen.
iii.
1097: Perang Salib Pertama; dua pertiga wilayah Semenanjung Iberia ditaklukkan oleh kerajaan-kerajaan
yang diperintah kaum Kristen.
8.
Periode
VIII (1104-1159 M), era kaum Murabitun di Andalusia terjadi
peristiwa-peristiwa:
i.
1118:
Pasukan-pasukan Navarra-Aragon merebut kubu-kubu pertahanan kaum Muslim di Tudela dan Zaragoza.
9.
Periode
IX (1159-1240 M), era kaum Muwahhidun di Andalusia serta semakin derasnya
perang pembebasan:
iii.
1236: Cádiz dan bekas ibukota kekhalifahan Kordoba ditaklukkan oleh pasukan Castilia.
10. Periode X (1240-1517
M), masa kerajaan Bani Ahmar atau Bani Nashr serta runtuhnya kekuasaan Islam di
Granada:
iv.
Abad ke-14 dan
ke-15: kaum Muslim Mariniyyah menguasai beberapa kota di pesisir selatan namun segera dihalau, hanya
menyisakan beberapa kota yang terisolasi di selatan Granada yang masih dikuasai
oleh bangsa Moor.
v.
1492: Setelah Perjanjian
Granada pada tanggal 25 November 1491, bangsa Moor menyerahkan
kota tersebut dan mengakhiri Reconquista.
Dari periodisasi di atas tampak jelas
bagaimana Reconquista berlangsung. Sejak awal milenium kedua hingga
tahun 1200-an, kota-kota utama Kordoba, Sevila, dan Toledo dari kerajaan Islam Muluk At-Thawaif satu per satu jatuh ke tangan kerajaan
Kristen yang menyerang dari
Utara. Takluknya kerajaan Muslim tersebut disebabkan oleh faktor kesalahan
pihak Muslim sendiri, dipicu oleh gerakan partisan al-Murabitun dan Muwahidun
dari Afrika Utara, yang timbul akibat pertikaian yang lama antara Arab Syam
dengan Magribi yang digosok oleh kaum pelarian Khawarij dari Timur.
Pada sekitar
tahun 1200-an, Granada sempat berhasil menghindarkan diri dari penaklukkan
kerajaan-kerajaan Eropa, dengan menyepakati perjanjian dengan Kerajaan Castile,
salah satu kerajaan Kristen yang terkuat di Eropa. Perjanjian tersebut
berisikan kesediaan dan ketundukan Granada dengan membayar upeti berupa emas
kepada Kerajaan Castile setiap tahunnya. Timbal baliknya, Castile menjamin
independensi Granada dalam urusan dalam negeri mereka dan lepas dari ancaman
invasi Castile. Di samping itu ada faktor lain, yaitu bentangan pegunungan
Sierra Nevada yang membentengi Granada, sehingga terhindar dari penaklukkan
dari invasi pihak-pihak luar.
Walaupun Granada
untuk selama lebih dari 250 tahun tetap setia membayar upeti serta tunduk
kepada Castile. Namun kerajaan-kerajaan Kristen yang mengelilingi Granada itu tetap
saja menunjukkan sikap yang tidak bersahabat bahkan potensial menjadi bom waktu
ancaman penaklukkan.
Sepertinya
sudah menjadi suratan takdir keruntuhan Granada, tatkala Raja Ferdinand dari
Aragon menikah dengan Putri Isabella dari Castile. Pernikahan ini menyatukan
dua kerajaan terkuat di semenanjung Iberia yang merajut tekad yang satu,
menaklukkan Granada dan menghapus jejak-jejak Islam di benua biru.
Tahun 1482
pertempuran antara Kerajaan Kristen Spanyol dan emirat Granada pun dimulai.
Meskipun secara jumlah dan kekuatan materi Granada kalah jauh, namun semangat
juang masyarakat muslim Granada sangatlah besar, mereka berperang dengan penuh
keberanian. Sejarawan Spanyol mengatakan, “Orang-orang muslim mencurahkan
seluruh jiwa raga mereka dalam peperangan, mereka laksana singa yang lapar menyerang
musuhnya demi mempertahankan diri mereka, istri dan anak-anak mereka.” Demikian
juga masyarakat sipil Granada, mereka turut serta dalam peperangan dengan gagah
berani, mempertahankan tanah air mereka dan mempertahankan eksistensi Islam di
tanah Eropa.
Saat itu,
orang-orang Kristen bersatu padu, tidak lagi terpecah belah sebagaimana keadaan
mereka di masa lalu. Beda halnya dengan Granada yang malah menghadapi
pergolakan politik. Para pemimpin muslim dan para gubernur cenderung saling
sikut, memiliki ambisi yang berbeda-beda, dan berusaha saling melengserkan satu
sama lain. Di antara mereka ada yang berperan sebagai mata-mata Kristen dengan
iming-iming imbalan kekayaan, tanah, dan kekuasaan. Lebih parah dari itu, pada
tahun 1483, Sultan Muhammad, anak dari Sultan Granada, mengadakan pemberontakan
terhadap ayahnya sehingga memicu terjadinya perang sipil.
Raja Ferdinand
benar-benar memanfaatkan situasi ini untuk membuat Granada kian lemah, ia
mendukung pemberontakan Sultan Muhammad melawan ayah dan anggota keluarganya.
Pasukan-pasukan Kristen dikerahkan oleh Ferdinand turut berperang bersama
Sultan Muhammad menghadapi anggota keluarganya. Akhirnya Sultan Muhammad
berhasil menaklukkan anggota kerajaan dan menguasai Granada. Namun kekuasaannya
ini hanya terbatas di wilayah Kota Granada saja, karena pasukan Kristen menekan
dan mengambil wilayah-wilayah pedesaannya.
Tidak lama
setelah menguasai Granada, Sultan Muhammad mendapat surat dari Raja Ferdinand
untuk menyerahkan Granada ke wilayah kekuasaannya. Sang sultan pun terkejut
dengan permintaan Raja Ferdinand, karena ia menyangka Raja Ferdinand akan
memberikan wilayah Granada kepadanya dan membiarkannya menjadi raja di wilayah
tersebut.
Akhirnya
Sultan Muhammad sadar bahwa ia hanya dimanfaatkan sebagai pion oleh Ferdinand
untuk melemahkan dan mempermudah jalan pasukan Kristen menaklukkan Granada.
Muhammad berusaha untuk menggalang kekuatan dengan bersekutu bersama prajurit
Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah untuk memerangi kekuatan Kristen Eropa.
Namun bantuan yang diharapkan Muhammad tidaklah sesuai dengan harapannya. Turki
Utsmani hanya mengirimkan sekelompok kecil angkatan laut yang tidak berpengaruh
banyak terhadap kekuatan Kristen Eropa.
Pada tahun
1491, Granada dikepung oleh pasukan-pasukan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.
Dari menara istananya, Muhammad melihat pasukan Kristen dalam jumlah yang besar
telah mengepung dan bersiap menyerang Granada. Muhammad pun dipaksa untuk
menandatangani surat penyerahan Granada kepada pasukan sekutu Kristen.
Peristiwa ini terjadi pada November 1491. Pada tanggal 2 Januari 1492, pasukan
Kristen memasuki Kota Granada, dan mereka pun memasuki istana Alhambra,
memasang bendera-bendera dan simbol-simbol kerajaan Kristen Eropa di
dinding-dinding istana sebagai tanda kemenangan, dan di menara tertinggi istana
Alhambra terpancang bendera salib agar rakyat Granada mengetahui siapa penguasa
mereka sekarang. Keadaan saat itu benar-benar mencekam, rakyat muslim Granada
tidak berani keluar dari rumah-rumah mereka dan jalanan pun lengang dari hiruk
pikuk manusia.
Sultan
Muhammad segera diasingkan. Beberapa saat dalam perjalanan, di puncak gunung,
ia menoleh kepada bekas wilayahnya sambil menitikkan air mata. Ibunya yang
melihat keadaan itu tidak simpatik kepada putranya, bahkan ia memarahinya
dengan mengatakan, “Jangan engkau menangis seperti perempuan, karena engkau
tidak mampu mempertahankan Granada layaknya seorang laki-laki”.
Orang-orang
Kristen menjanjikan toleransi dan kedamaian terhadap masyarakat Islam Granada,
walaupun kemudian perjanjian itu mereka batalkan sendiri. Baik umat Islam
pendatang, mualaf dan umat Yahudi dipaksa beralih ke agama Nasrani, bagi yang
menolak maka dibunuh atau diusir dari bumi Spanyol.
Ribuan umat
Islam dibunuh dan yang lainnya diusir secara hina menyeberangi lautan menuju
wilayah Afrika Utara. Itulah akhir dari peradaban Islam di Spanyol yang sangat mengenaskan,
sungguh betapa kejamnya tentara Salib terhadap umat Islam.
Pembantaian ribuan umat Muslim oleh tentara Salib di
Spanyol ketika Granada jatuh.
(Wikipedia. https://www.google.com/search?site=&tbm=isch&source=hp&biw=1280&bih=650&q=muslim+terusir+pada+reconquista&oq=muslim+terusir+pada+reconquista&gs_l=img.)
Sejarah pun
mencatat ketika dulu pasukan Islam dari etnis Berber, Moor atau pun Arab Syam
menaklukkan Hispania pada tahun 711 M, tidak satu pun dipaksa konversi ke agama
Islam, bahkan mereka yang beragama Nasrani dan Yahudi dipersilahkan meneruskan
melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing, sebab mereka dianggap sebagai
al mukminun, hanya disuruh membayar pajak. Konon kabarnya bagi mereka yang
tidak melawan, tidak satu pun yang dibunuh secara keji.
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku “ (QS Al Kafirun: 1-6).
Walaupun
pendudukan Muslim telah berlangsung lebih dari tujuh abad lamanya, namun cahaya
Islam menghilang demikian cepat dan haru dari daratan tersebut. Diiringi oleh melayangnya
ribuan nyawa rakyat sipil yang tidak bersalah serta isak tangis dari mereka
yang sempat melarikan diri ke laut menyeberangi lautan menuju Afrika Utara. Tidak
lama berselang berduyun-duyun datanglah pendatang Kristen baru menggantikan
tempat orang Islam dan Yahudi menempati wilayah tersebut.